Pulang



Ia tidak mau aku menjelma airmata. Agar dapat pulang, katanya. Sekadar mengganti pundaknya yang hampir-hampir saja termakan rayap. Atau menjadi mata yang tak pernah lagi rabun.

Di belantara, ia kerap berteriak tentang waktu yang tak pernah bisa kembali. Namun tetap ditumbuhkannya segala pengharapan pada pohon ketidakpastian.

Ia tidak mau aku menjelma airmata. Agar dapat pulang, katanya. Sudah lama ia persiapkan telinga. Menunggu cerita tentang pesawat yang membawaku pergi dan lupa kapan kembali.

Malam-malam ia berteriak kepada langit. Membujuk takdir yang terlanjur dituliskan. Oh…, tak jua tergantikan detak detik kosong melompong berserah diri.

Ia tidak mau aku menjelma airmata. Agar dapat pulang, katanya.
Semua teriakan berubah makbul. Aku pulang menemui dosa pada lipatan kulit wajahnya. Tapi ia sudah menjelma airmata.

Komentar