Gempa Palu, Ratna Sarumpaet, dan Sekumpulan Masyarakat yang Sedang "Gila"



Sepekan terakhir, kita terus menerus disuguhkan beberapa berita miris. Mulai dari penjarahan di lokasi gempa hingga kebohongan Ibu Ratna Sarumpaet. Dua berita utama tersebut memaksa kita semua mengurut dada dan mungkin di dalam hati berkata "Kok bisa begitu?"

Kegilaan pertama datang dari para oknum yang menjarah di lokasi gempa Palu-Donggala. Meski pada akhirnya ditemukan fakta bahwa mereka yang menjarah toko elektronik dan otomotif adalah mayoritas orang luar Palu dan tahanan yang lepas, itu cukup memberikan kita bukti bahwa masyarakat kita benar-benar bisa memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar.

Video amatir yang kerap kali ditayangkan media tv hingga medsos tentang masyarakat yang menahan mobil bantuan dan mengambil bahan makanan yang ada, barangkali itu karena memanfaatkan kesempatan pula. Jika mau berpikir positif, mungkin itu adalah cara saudara-saudara kita untuk memberi makan keluarga yang sedang bingung harus mencari ke mana lagi.

Kesempatan yang muncul tiba-tiba seperti itu membuat masyarakat kita akhirnya lupa bahwa yang butuh bukan hanya keluarganya, bahwa toko-toko yang ditinggal pemiliknya bukan berarti menjadi milik bersama. Barangkali hal itu pulalah yang terjadi pada kasus Ibu Ratna Sarumpaet.

Begitu kabar tentang penganiayaan Ibu Ratna bergulir, apalagi di tengah pertarungan capres cawapres, kesempatan untuk menyerang kubu lawan pun terbuka lebar. Kita semua bisa lihat dari postingan-postingan dan komentar-komentar yang gila-gilaan disebarkan oleh para pendukung.

Tiba saatnya Ibu Ratna mengatakan bahwa penganiayaan yang dialaminya hanyalah kabar bohong yang sengaja dibuatnya, kesempatan menyerang balik dari kubu lawan pun terbuka lebih lebar, dan akhirnya meraka gila-gilaan pula menyebarluaskannya lewat postingan, komentar-komentar, dan sejenisnya.

Tak berhenti sampai di situ, pertarungan yang terjebak di ranah tersebut tetap saja bergulir. Tidak mau mengalah, mereka masih saling serang lewat perbandingan-perbandingan dosa masing-masing. Mungkin benar postingan Pak Abdullah Pandang yang mengatakan bahwa setan kini telah kehilangan pekerjaan. Bahwa keadaan sekarang menjadi terbalik. Bahwa setanlah sekarang yang "kesurupan" manusia.

Barangkali benar pula yang dikatakan Mbah Sujiwo Tejo pada satu kesempatan di ILC bahwa kalimat "Demi bangsa dan negara!" sudah rusak. Mari coba kita tanya diri masing-masing, apakah yang kita perjuangkan saat ini demi untuk Indonesia yang baik atau untuk kebaikan kelompok semata atau malah untuk kepentingan perut sendiri?

Terlepas dari kesalahan dan kekeliruan yang dibuat, semoga kita tetap mengagumi (bukan mempertuhankan) sosok Ibu Ratna, Pak Prabowo-Sandi, dan Pak Jokowi-Ma'ruf, sebagai sosok negarawan yang lantang menyerukan ide untuk kebaikan-kebaikan negara kita tercinta. Begitu pula untuk Palu-Donggala, semoga dengan berita penjarahan yang terjadi di sana tak menyurutkan doa dan semangat membantu saudara-saudara kita di sana.

Tapi, Ah, mungkin saya tidak sadar bahwa saya menuliskan ini juga dalam keadaan gila. Mohon dimaklumi..! 🙏🙏🙏

Komentar