Sumber: SM-3T angk. V Kab. Berau
Tahun 2015, di pelosok Kalimantan tempat saya mengabdi sebagai Guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), seorang bapak dengan celana pendek sambil telanjang dada tanpa memakai alas kaki dengan sebatang rokok di tangannya, mencari saya di ruang guru. Dengan nada geram, bapak itu menarik tangan anaknya yang beberapa saat sebelumnya saya hukum berdiri di luar kelas karena melempar temannya menggunakan buku pelajaran tepat di hadapan muka saya. Bapak tersebut menanyaiku perihal anaknya yang pulang ke rumah sambil menangis. Saya lalu menjelaskan semuanya panjang lebar yang akhirnya membuat beliau meminta anaknya meminta maaf kepada saya.Beberapa minggu setelahnya, siswa yang lain saya bawa ke kantor sebab sehari sebelumnya kedapatan melempari mes kami dengan batu. Dua kali. Saat saya tanyai, siswa itu hanya tertawa tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Kepala sekolah pun meminta agar orangtuanya dipanggil. Namun, begitu ibunya datang dan diberikan penjelasan, orangtua siswa tersebut malah berbalik menyalahkan pihak sekolah yang katanya tidak becus mengurus anak-anak didik.
Budaya Pengawasan Keluarga
Sumber: IG: @sm3t.imspirasi.indonesia
Barangkali kita semua sepakat bahwa pengembangan pendidikan bukanlah tanggung jawab pihak sekolah semata. Sekolah merupakan lingkungan ketiga setelah lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal anak. Oleh karena itu, sebagai lingkungan pendidikan yang pertama, sudah seyogyanya keluarga senantiasa ikut mengambil peran. Hanya saja, sikap individualis saat ini semakin mengakar kuat di dalam masyarakat kita. Bahkan tidak jarang, ketika anak-anak kita melakukan hal negatif lalu mendapat teguran dari orang lain yang notabene masih memiliki ikatan keluarga pun, para orangtua malah pasang badan untuk membela meskipun anak tersebut berada di pihak yang salah. Merasa dilindungi, sang anak akan mengulangi perbuatan negatifnya dan orang yang sebelumnya menegur jelas akan tutup mata membiarkannya begitu saja.Kebanyakan kita seolah memberikan sekat bahwa ruang lingkup keluarga terbatas pada orang-orang yang tinggal serumah dengan kita saja. Padahal semestinya yang dimaksud keluarga pun termasuk kakek dan nenek, om dan tante, juga sepupu-sepupu. Barangkali dengan membangun komitmen atau memberikan hak pengawasan di dalam keluarga besar, maka kemungkinan anak-anak kita melakukan hal-hal yang negatif bisa ditekan menjadi seminimal mungkin.
Dengan berkembangnya pengawasan di masing-masing keluarga, budaya yang demikian bisa jadi menular ke keluarga yang lain. Lalu pengawasan yang tadinya hanya dalam lingkup keluarga, perlahan akan berubah menjadi kesadaran yang mencakup lingkungan masyarakat tempat tinggal kita.
Kompetisi Pembentuk Karakter
Sumber: IG: @sm3t.inspirasi.indonesia
Minggu terakhir sebelum bulan puasa berakhir, taman baca yang saya rintis ikut menginisiasi festival anak saleh di tingkat desa. Sejak festival yang akan diisi beberapa lomba itu diumumkan, kami semakin sering mendengar suara anak-anak yang sedang latihan azan, latihan menghafal surah pendek juga latihan menjadi dai di rumahnya masing-masing. Bahkan hingga beberapa waktu setelah festival itu selesai.Melalui peristiwa di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata anak-anak kita menyukai kompetisi. Oleh karena itu, dari kompetisi ini pula kita memiliki peluang besar untuk membentuk kebiasaan anak-anak. Dengan demikian, besar pula kemungkinan anak-anak kita melakukan latihan-latihan yang bisa menjadi pembentuk karakter positifnya.
Kolaborasi Masyarakat
Sumber: IG: @sm3t.inspirasi.indonesia
Setelah kejadian dua kasus yang dikisahkan di awal tulisan ini, kami pun mengundang siswa, guru, orangtua siswa, dan tokoh masyarakat lewat seminar yang berkaitan dengan pentingnya pendidikan juga kerjasama untuk mewujudkan hal tersebut. Saya dan teman-teman masih ingat betul bagaimana para guru dan orangtua siswa menyalami bahkan beberapa di antaranya mencium tangan kami sambil menangis pula.Meski waktu itu berstatus sebagai guru SM-3T, tetapi kami berhasil mendapatkan pelajaran bahwa segala yang dilakukan dengan bersama-sama akan mendapati proses yang lebih baik pula, sebab setelah seminar tersebut, bahkan jam belajar tambahan di sore hari pun menjadi lebih ramai.
Apabila proses sudah mulai berjalan lancar melalui ketiga modifikasi yang kalau boleh kami sebut sebagai referensi di atas, barangkali hasil yang baik pun jaraknya tidak akan jauh dari yang kita harapkan. Jika kebiasaan-kebiasaan negatif saja bisa dengan mudah mempengaruhi pendidikan anak kita, kenapa kita tidak bisa membentuk modifikasi sosial yang bisa membawa dampak positif untuk pendidikan mereka?
Pernah dimuat di: http://fajaronline.co.id/read/56025/modifikasi-lingkungan-sosial-untuk-memaksimalkan-kualitas-pendidikan-anak
Komentar
Posting Komentar